Menyoal wacana pemerintah tentang kebijakan membuka kembali sekolah ditengah pandemi; new normal pendidikan
Saat ini, kita sedang dikejutkan dengan mewabahnya suatu virus yang secara masif telah menyebar pada lebih dari 250 negara di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Coronavirus disease (Covid-19) yang telah ditetapkan sebagai pandemik oleh WHO (World Health Organization) ini telah mewabah lebih dari 3 bulan di negara kita ini. Akibat dari ditetapkannya Covid-19 sebagai pandemi, dunia pun mengalami perubahan secara global. Berbagai perubahan yang terjadi membuat banyak orang terasa gagap harus adaptasi dengan sistem dan keadaan yang baru, salah satu yang paling merasakan dampaknya adalah sektor pendidikan.
Sekilas kita melakukan flashback, saat pandemi Covid-19 belum terjadi di Indonesia dan seluruh dunia, kita mungkin melaksanakan segalanya dengan mudah dan tampak normal serta biasa saja. Dalam sektor pendidikan misalnya, dimana murid terbiasa datang ke sekolah untuk belajar, kemudian mereka mendengarkan serta mencatat segala ilmu dan pengatahuan yang diberikan oleh pendidik. Bandingkan dengan saat pandemi datang dan mengubah tatanan kehidupan pendidikan, semuanya tampak gagap, aneh dan mengagetkan pelbagai pihak, dan mengubah tatanan hidup banyak orang. Memang, anak milenial terbiasa menggunakan gadgetnya untuk menunjang kehidupan sehari-hari, termasuk sebagai alat untuk mendukung pelajaran di sekolah. Namun sekarang, disaat murid dan guru harus belajar dan mengajar dari rumah (home learning) , kegagapan akan adaptasi dengan teknologi kerap terjadi meskipun mereka sering menggunakannya. Kenapa bisa terjadi hal demikian? Karena mereka harus menghadapi tantangan dimana mereka belum pernah merasakan sebelumnya. Ya, wabah ini adalah tantangan global yang suka atau tidak suka, mau atau tidak mau harus mereka hadapi dan mengubah kebiasaan yang sudah lama dilakukan. Banyak anak sekolah yang tak tahu harus mengerjakan apa saat mereka harus belajar dari rumah. Belum lagi, banyak guru yang belum menguasai teknologi sebagai penunjang pendidikan, alhasil murid merasa terbengkalai selama beberapa minggu sambil menunggu pekerjaan rumah atau tugas apa yang akan mereka dapatkan dari sekolah.
Sebagai contoh, penulis pernah mendapati sebuah fakta di lapangan, seorang guru PNS di sekolah SMP Negeri yang letaknya tidak jauh dari ibu kota, penulis mendapat kesempatan untuk sekedar melakukan tanya jawab dengan guru tersebut, ia mengakui saat awal diberlakukannya sistem belajar dari rumah (Home /Online Learning) atau Pembelajaran jarak Jauh (PJJ) untuk anak sekolah, ia tidak tahu harus memberikan tugas dengan metode daring yang seperti apa kepada anak didiknya, karena pengertian Home/Online Learning yang sekolahnya terapkan belum dipahami secara menyeluruh, baik oleh pihak guru maupun peserta didik. Bahkan, yang mungkin menjadi perhatian bersama adalah, banyak murid yang memang tidak punya gadget untuk menunjang akivitas Online Learning itu. Itu adalah salah satu fakta yang penulis temui langsung di lapangan. Artinya apa, konsep belajar di rumah, baik itu offline/online learning belum sepenuhnya dimengerti, apalagi diaplikasikan.
Sejalan dengan beberapa fakta tersebut, sepertinya era new normal pendidikan adalah sebuah tantangan bagi sekolah, murid, dan orangtua untuk lebih menyadari bahwa perubahan global (global change) itu sebuah keniscayaan yang nyata, tidak bisa dihindari, dan harus dihadapi bersama. Bukan hal yang mudah untuk beradaptasi, hampir setiap orang memulainya dengan kendala hingga berangsur-angsur terbiasa. Seiring berjalannya waktu hingga sekarang, bagi kebanyakan anak, kegiatan belajar daring ini sudah menjadi kegiatan sehari – hari di masa pandemi. Begitu pula guru yang awalnya gagap teknologi dipaksa cepat menyesuaikan diri dengan beragam aplikasi, membuat video pembelajaran dan menggunakan platform digital lain agar tetap keep in touch dengan anak didiknya di rumah masing-masing. Berkat Covid-19 ini, maka bermunculanah pelbagai macam platform digital, sebut saja Zoom cloud meeting, Cisco Webex, google Hangout, Google Video, Zenius, dan lain-lain. Penggunaan teknologi diatas bisa saja dilakukan oleh anak sekolah di kota-kota besar, dengan fasilitas yang lengkap dan memadai, dengan keadaan finansial keluarga/orangtua yang mencukupi, dimana anak – anak mereka punya ketersediaan kuota yang nonstop, jaringan internet yang dicukupi, serta perhatian dan keterlibatan orangtua yang sangat intens melalui sosial media dengan guru-gurunya.
Yang perlu diperhatikan adalah, faktanya bahwa kewajiban belajar di rumah ini bukan hanya diperuntuhkan untuk anak sekolah di kota besar saja, karena ini sifatnya sudah nasional dimana kewajiban anak belajar dari rumah diterapkan di banyak daerah lain juga. Jika melihat ketersediaan fasilitas, jelas di daerah memang ada yang jauh tertinggal dengan kota besar, pemerataan pendidikan memang belum sepenuhnya berhasil, apalagi kecukupan finansial orangtua juga menjadi perhatian, mereka tidak sanggup jika harus memberikan anaknya gadget satu persatu untuk menunjang belajar mereka, belum lagi urusan kuota dan pulsa yang harus dipenuhi saat harus online learning dari rumah.
Lalu apa yang harus sekolah, murid, dan orangtua siapkan jika memang sekolah akan dibuka dalam waktu dekat, padahal kurva kasus positif Covid-19 ini masih sangat tinggi di negeri ini? Hak untuk mendapatkan pendidikan tetaplah harus dipenuhi oleh Negara, dan sekolah wajib memenuhinya dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional dan mengembangkan kecakapan sumber daya manusia. Jika memang pemerintah dalam hal ini telah siap untuk kembali membuka sekolah dan lembaga pendidikan lainnya, maka beberapa hal perlu diperhatikan, karena sekolah adalah tempat yang secara masif menampung anak didik dalam skala yang besar dengan durasi yang cukup lama (pagi sampai sore). Kesiapan sekolah menjadi faktor utama jika kebijakan sekolah siap dibuka, beberapa hal diantaranya adalah:
1. Pemberlakuan shift murid secara bergantian
Shift murid yang datang ke sekolah sejatinya bukan hal yang baru, hanya saja jika dilakukan ditengah situasi pandemik seperti ini pastilah berbeda. Segala konsekuensi harus diperhatikan jika kebijakan tersebut dilaksanakan Sebagai contoh, kelas X belajar di sekolah hari Senin-Selasa, Kelas XI Rabu-Kamis, dan Kelas XII nya Jumat-Sabtu, lalu sisa hari mereka yang tidak datang ke sekolah harus dilaksanakan secara daring/jarak jauh (belajar dari rumah)
2. Pengadaan Hand sanitizer dan Termometer di tiap kelas/sekolah
Begitu rentannya sekolah sebagai tempat berkumpul guru & murid merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam memerangi pandemik ini, dimana murid dengan jumlah yang banyak harus berkumpul dalam satu kelas dan terjadi interaksi meskipun harus dibatasi. Maka penggunakan sabun cuci tangan, handsanitizer, dan sejenisnya adalah hal yang mutlak disediakan oleh sekolah. Guru dan murid dicek suhu tubuhnya secara berkala agar keadaan selalu terkontrol. Jika guru & murid tersebut merasa tidak enak abdan/sakit, alangkah baiknya untuk tidak wajib datang ke sekolah demi menghindari hal yang ditakutkan. Bahkan, sekolah tidak boleh melarang jika ada orangtua yang memilih untuk tidak memberangkatkan anaknya ke sekolah karena alasan penyebaran pandemi ini, bahkan sekolahpun wajib memenuhi hak-hak belajar muridnya tersebut.
3. Atur meja kelas agar berjarak
Mengatur posisi meja belajar murid dan meja guru di kelas menjadi hal yang wajib dilakukan oleh sekolah. Murid pun dilarang untuk berpindah tempat duduk dengan alasan apapun. Mengingat kondisi rentan ini, murid mau tak mau harus membatasi geraknya di kelas. Gurupun cukup menjelaskan materi ajarnya di depan kelas dengan berjarak, tidak perlu berputar mengelilingi murid-muridnya. Inilah hal baru yang harus dibiasakan oleh guru dan murid, tentunya jika memang pemerintah siap membuka kembali sekolah ditengah pandemi ini.
4. Hindari kontak fisik
Physical distancing wajib diaplikasikan di sekolah, guru dan murid untuk sementara tidak salaman terlebih dahulu, antar guru di ruang guru pun harus tetap jaga jarak aman, murid di kelas pun sama. Pembatasan aktivitas atau pergerakan memang harus dipatuhi, apalagi melihat pola penyebaran virus ini yang memang tidak bisa ditebak. Maka, membatasi pergerakan dengan menjaga jarak adalah sebuah keharusan.
5. Membatasi jam belajar anak di sekolah
Mengingat rentannya sekolah sebagai tempat yang bisa saja menyebarkan virus ini, maka hal yang wajib diperhatikan adalah waktu interaksi dan berkumpul di sekolah harus dibatasi. Terlalu lama di sekolah ditengah pandemi seperti ini juga berbahaya, maka dari itu sekolah harus membuat jadwal baru agar keterlibatan murid di sekolah harus dibatasi waktunya, agar tidak terlalu lama.
6. Penyemprotan Disinfektan
Sudah menjadi hal yang mutlak jika menyemprotkan disinfektan di sekolah adalah salah satu cara untuk meminimalisir pergerakan virus ini. Karena sekolah menjadi tempat yang rentan akan penyebarannya, maka dengan penyemprotan disinfektan secara berkala setiap hari adalah salah satu cara agar anak didik bisa terhindar dari virus ini. Kursi, meja, lorong sekolah dan pintu kelas menjadi objek yang sangat riskan jika tersentuh oleh tangan. Alhasil, penyemprotan disinfektan harus selalu diberikan oleh sekolah untuk mengurangi dampak penyebaran virus tersebut.
Begitulah kiranya hal-hal yang harus diperhatikan oleh sekolah, jika memang pemerintah berencana membuka kembali sekolah ditengah pandemi ini. Apakah Konsep seperti itulah yang disebut sebagai New normal? Itu hak anda untuk menafisrkan. Intinya, pemerintah mempunyai tanggung jawab lebih untuk memberikan rasa aman kepada rakyatnya, dan rakyat punya tanggung jawab untuk patuh terhadap segala kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sekian.
Penulis: M. Nashruddin Akhyar (Guru di salah satu SMA swasta di Jakarta)